Thursday, 23 October 2008

so lonely

KUHARAP HUJAN MALAM INI
One Prasetya



Hadirmu seperti hembus angin
Yang menyentuh pucuk pucuk pinus
Membisikkan lirih nyanyian kasmaran
Saat kuterhempas di belantara sunyi
Kau mengusik luka di relung sukma ……………
(December, 23rd. 2003)


Bian masih membisu, memandang para buruh harian yang sibuk merempel pucuk-pucuk tanaman, jauh di dasar lembah. Dilihatnya Bi Een melambaikan tangan ke arahnya, mengacungkan-acungkan bungkusan yang dikeluarkan dari dalam tas pandan yang sudah sangat kucel. Bian tersenyum kecil. Meletakkan hand sprayer di atas mulsa.
“Mas, Sini.. Bibi bawa makanan buat Mas!”
Bian melangkah menghampiri, menuruni bukit melalui parit kecil yang dibuat secara terasering.
“Suka kemplang?”
tanya Bi Een dengan logat Sundanya yang kental.
“Sudah pernah makan belum?”
tanyanya lagi. Iqoh yang duduk di samping Bi Een tersenyum malu-malu. Sesekali mencuri pandang kearah Bian. Dari dua belas pekerja wanita hanya Iqoh saja yang belum kawin. Ada juga Neneng, janda beranak satu,Yeti yang sudah empat kali kawin, Ratih yang sudah tujuh kali kawin. Ratih ini istrinya Mandor Apip dari perkawinannya yang ke tujuh. Orang Sunda memang suka kawin, Bian mendesah lirih, mengambil kesimpulan ngawur. Mandor Apip yang seringkali menggodanya, mencoba menjodoh-jodohkan Iqoh dengan Bian.
Bi Een mengeluarkan rantang dari dalam tas pandannya.
“Cobain atuh..”
“Sumuhun Bi”
Bian mengambil satu,
“Enak, bikin sendiri?”
“Iya”
“Kalau suka, besok Bibi bawain lagi ya?”
“Ulah ngarepotin”
kata Bian mencoba berbahasa Sunda dengan logat yang kaku.
Bi Een tertawa.
“Boss nanti dateng, jadi kerjaan mesti bisa selesai hari ini ya, Bi”
“Gajian juga berarti hari ini, ya Mas?”
Tanya Bi Een.
Bian mengangguk pelan,
“Uto, mana?”
“Lagi ngambil air di bawah. Mau saya panggilkan, Mas?”
Iqoh meletakkan keranjang yang sedang di bawanya, lalu melangkah turun menuju mata air di dasar lembah.
“ Tolong bilang ke Uto, nanti sore suruh nyetrumin aki ke Ciwalen ya Qoh, acara tevenya bagus, ada lagu-lagu dangdut sama wayang golek, tidur sini aja kalau pengen nonton”
“ Sekalian nemenin saya di sini, nonton teve, bikin api unggun, bakar singkong, mau?” Tanya Bian.
“ Nggak mau, ah. Takut”
kata mereka.
“Takut apa? Saya yang tiap hari di sini aja nggak takut. kan ada Jejen sama Pak Mamat jawara kita dari Ciwalen. Ya khan Jen?”
“Sumuhun “
Jejen menanggapi dengan dingin. Mengambil golok, lalu mulai sibuk membuat ukiran pada gagangnya.
“ Semalem kamu tidur jam berapa, Jen?”
“ Nggak tidur, Mas. Ada rampok di perkebunan sebelah, lima orang”
kata Jejen pelan.
Jejen ini yang biasa jaga malam di perkebunan ini, bareng Pak Mamat, orangnya pendiam, kalau ngomong nggak pernah panjang lebar, seperlunya saja, orangnya sangat tertutup, nggak pernah bicara kalau nggak ditanya. Pertama kali Bian ke perkebunan ini melihatnya saja ngeri, pernah sekali waktu Bian melihat Jejen lagi membacok tangannnya sendiri, tapi nggak luka sama sekali, dia punya ilmu kebal nggak mempan ditebas senjata tajam. Di sini memang kebanyakan pada ikut bela diri, pencak silat, yang mempelajari ilmu kebal senjata. Tiap malem minggu ada latihan di rumah Haji Dadang di Ciwalen kampung terdekat dari sini yang jaraknya satu setengah jam jika ditempuh dengan jalan kaki. Pernah sekali waktu Pak Apip mengajak Bian ke sana, yah minimal biar tahu tapi Bian belum menanggapi serius. Nggak pernah mau.
“Rampok, Jen?”
Tanya Bian dengan alis terangkat. Jejen mengangguk, tanpa melihat ke arahnya.
“Trus, orang-orang yang di kamp gimana?”
Tanya Bian ingin tahu.
“ Nggak diapa-apakan, Mas. Cuma diikat, lalu barang-barang yang ada di gudang di kuras habis, diambil semua. pupuk, genset, sprayer, sepeda motor, kabarnya sih mereka bawa mobil.”
Kata Jejen panjang lebar. Baru kali ini dia terlihat begitu bersemangat menceritakan sesuatu.
“Jangan terlalu lelap kalau tidur, Mas”
kata Jejen lagi. Bian termenung, lalu mengangguk pelan. Menatap sekeliling, perkebunan ini memang jauh dari perkampungan penduduk.
Di sekitar sini hanya ada hutan pinus yang luasnya hampir lima hektar, hanya ada satu jalan utama yang menuju ke kota, itupun sudah sangat rusak, tidak layak pakai. Jalan aspal yang sudah banyak lubang di sana sini. Hanya tukang ojek saja yang sesekali lewat, itupun siang hari. Menjelang malam suasana sudah sangat sepi, angkutan kota ada juga yang lewat itupun sangat kadang-kadang, nggak mesti dua jam sekali. Setelah maghrib yang terdengar hanya suara binatang malam, musang, burung-burung liar, babi hutan dan binatang lain entah apa namanya. Di sini masih banyak berekeliaran binatang-binatang liar. Nggak Cuma itu, di ujung bukit di tengah hutan pinus ada pondok kecil semacam panembahan, menurut kabar angin dari penduduk Guling Munding, sebuah desa di sebelah Utara perkebunan ini kalau pas bulan Suro banyak orang kota yang datang ke angke, orang Sunda menyebut hutan dengan istilah itu Ngipri, nyari pesugihan kalau Pak Apip sering cerita. Kepercayaan orang-orang di sini terhadap hal-hal gaib masih sangat kental. Dua minggu yang lalu Mandor Apip mengadakan upacara ritual kecil, kopi pahit, bakar kemenyan, bubur merah, katanya untuk tolak bala, mengusir mahluk jahat yang ada disekitar sini agar tidak mengganggu, agar panen bisa melimpah. Pak Benny setuju saja waktu Mandor Apip mengusulkan menyembelih dua ekor kerbau dan kepalanya harus ditanam di tengah perkebunan. Entah memang untuk syarat tolak bala atau sekedar biar bisa makan enak Bian juga nggak tahu. Orang kota memang lebih suka berpikir simpel, keluar duit banyak nggak masalah asal segalanya bisa berjalan lancar.
“ Ada yang lihat Mas Trisno?”
“ Di bawah, Mas. Lagi nungguin Ujang sama Deden nyemprot, sekarang lagi banyak sekali tanaman yang kena aphis, buah yang belum masak saja pada kering, jatuh”
kata Heri mencoba menjelaskan. Dari sekian banyak pekerja harian Cuma Heri yang agak mendingan sekolah sampai kelas dua SMP, yang lain rata-rata cuma lulusan SD. Jadi kalau Bian merasa kesulitan menjelaskan sesuatu kepada yang lain, dia cukup memanggil Heri, memberikan penjelasan singkat dengan kata-kata yang mudah dipahami oleh semuanya. Heri seperti Kepala Regu di sini, dia sebagai penyambung lidah untuk informasi yang mesti disampaikan. Susah jika harus menjelaskan sesuatu yang menggunakan kalimat yang mereka jarang dengar, kalimat yang terasa asing yang justru memusingkan kepala mereka. Semuanya harus dijelaskan dengan logika yang paling sederhana, menggunakan bahasa asing seperti di buku saat Bian kuliah benar-benar tidak bisa diterapkan di sini.

No comments:

 
© Copyright by .  |  Template by Blogspot tutorial