GENDERISME
( Sebuah Pemahaman Berakar Dan Sulit Dibelokkan )
Hendrawan Prasetyo
Hal penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks ( jenis kelamin ) dan konsep jender. Pemahaman terhadap konsep tersebut diperlukan dalam memahami persoalan – persoalan ketidakadilan sosial yang seringkali menimpa kaum perempuan. Ada keterkaitan erat antara perbedaan jender (gender differences ) dan ketidakadilan jender ( gender inequalities ) dengan struktur ketidak adilan masyarakat secara lebih luas.
Ada banyak pro dan kontra iika kita mengulas masalah ketidakadilan jender dalam suatu sistem sosial masyarakat. Ada dua alasan berkaitan dengan sikap kontra terhadap masalah analisis jender. Pertama, karena pada dasarnya mempertanyakan status kaum perempuan sama halnya dengan mempersoalkan sistem dan struktur yang telah mapan, bahkan mempertanyakan posisi kaum perempuan pada dasarnya akan menggoncang struktur dan sistem status quo ketidakadilan tertua dalam masyarakat. Kedua, Terjadi banyak kesalahpahaman tentang mengapa masalah kaum perempuan harus dipertanyakan. Mendiskusikan masalah jender pada dasarnya adalah membahas hubungan kekuasaan yang sifatnya sangat pribadi karena menyangkut dan melibatkan individu kita masing – masing serta menggugat privilege yang kita miliki dan sedang kita nikmati saat ini.
Apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan jender ? Banyak ketidak jelasan dan keasalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep jender dan kaitannya dengan usaha emansipasi kaum perempuan. Untuk memahami konsep jender harus dibedakan antara pengertian sex dan gender. Sex lebih mengacu pada pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Manusia jenis laki – laki adalah manusi yang memiliki sifat – sifat sebagai berikut ; laki – laki adalah manusia yang memliki penis, memiliki jakun ( kala menjing ), dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi sperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat – alat terasebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki – laki selamanya. Ini berarti bahwa secara biologis alat – alat tersebut tidak dapat dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia dengan jenis perempuan dan laki – laki. Alat – alat tersebut secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau seringkali dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.
Sedangkan yang dimaksud dengan gender yang lebih mengacu pada suatu sifat yang melekat pada kaum laki – laki maupun perempuan yang dibentuk secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan dikenal sebagai sosok manusia yang lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki – laki dianggap sebagai sosok manusia yang kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat – sifat tersebut merupakan sifat – sifat yang dapat dipertukaran. Artinya bahwa ada laki – laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional dan perkasa.
Sejarah perbedaan jender ( gender differences ) antara manusia jenis laki – laki dan manusia jenis perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan jender dikarenakan oleh banyak hal diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan, maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi jender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seolah – olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan – perbedaan jender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki – laki dan kodrat perempuan.
Perbedaan jender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan jender ( gender inequalities ). Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa terjadinya perbedaan jender telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi kaum laki – laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan jender merupakan suatu sistem dan struktur di mana kaum laki – laki atau perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
Sudah banyak kritik yang dilontarkan oleh kalangan perempuan bahwa sejarah gerakan perempuan kita dipenuhi pandangan dan kepentingan bias jender. Jelaslah konstruksi sejarah yang bias jender tersebut menjadi salah satu sebab yang mengukuhkan ketidakadilan jender.
Bias jender selalu memunculkan diskriminasi atas nama jenis kelamin. Pekerjaan di bidang publik seperti menyelenggarakan pendidikan, melakukan pertempuran di medan perang , dan negosiasi dalam perjuangan merupakan pekerjaan laki – laki yang bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan domestik seperti memasak, merawat orang sakit, mengurus dan mendidik anak dalam kehidupan keluarga yang lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan.
Bukan saja nilai pekerjaan yang dianggap berbeda, pelaku pekerjaan tersebut juga mempunyai nilai berbeda sehingga laki - laki dianggap lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Konstruksi sejarah gerakan perempuan yang tertulis dalam berbagai buku doktrin, termasuk yang diajarkan di sekolah – sekolah menyistematisasi gerakan perempuan sebagai gerakan kaum perempuan yang telah menyumbang perubahan bangsa melalui kegiatan publik yang selama ini lebih banyak dilakukan oleh kaum laki- laki. Misalnya pemberdayaan melalui institusi pendidikan, ikut bertempur melawan kolonialisme, atau aktif melakukan organisasi massa untuk pergerakan kemerdekaan.
Perjuangan perempuan baru dianggap penting jika melakukan kegiatan publik yang selama ini banyak dilakukan laki – laki. Perempuan baru dianggp berjuang melakukan perubahan bernilai historis jika sudah menjadi laki – laki. Itupun masih selalu dinilai dan dipandang lebih rendah dari laki – laki.
Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya konstruksi pandangan bias jender . Pertama, kepentingan pandangan budaya patriarkhi yang melahirkan dualisme peran dan fungsi laki – laki dan perempuan secara segregatif , diskriminatif, mengandung stereotip, dan subordinatif. Pandangan budaya ini bukan hanya melahirkan superioritas dan dominasi laki- laki tetapi juga inferioritas perempuan yang sulit dibangkitkan dalam hubungan sosial kemasyarakatan serta beban berganda pada perempuan.
Sejarah yang bias jender dikonstruksikan untuk mengukuhkan pandangan budaya bias jender tersebut, yang diantaranya dilegitimasi untuk kepentingan menjaga keharmonisan rumah tangga serta penegasan peran pendidikan keluarga. Kedua, kepentingan politik kekuasaan Negara yang bertujuan mendepolitisasi potensi dan kekuatan politik sipil berbasis kaum perempuan. Ketiga, kepentingan politik patriarkhi pada kelompok – kelompok kepentingan seperti partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi keagamaan, yang bertujuan melestarikan kekuasaan laki – laki. Pada organisasi keagamaan hal ini dilegitimasi juga oleh pandangan agama bias jender, baik menyangkut kepemimpinan, peran domestik dan publik, atau seksisme. Keempat, pandangan patriarkhi pada kalangan militer yang lebih sering mengklaim perjuangan kemerdekaan sebagai hasil kerja signifikan para pejuang ( tentara ) laki – laki.
Patriarkhi mengejawantah dalam karakteristik birokrasi. Ciri – cirii birokrasi antara lain pembagian kerja , hierarki yang jelas, prosedur seleksi formal, peraturan yang rinci, serta hubungan yang tidak berdasarkan atas hubungan pribadi. Ciri – ciri tersebut untuk memudahkan kerja sinergi suatu organisasi tetapi dalam kenyataannya ciri itu tidak berlaku adil bagi perempuan. Perlakuan diskriminatif itu mencerminkan tetap dominannya mekanisme maskulin yang menyatu dalam birokrasi.
Pandangan jender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena jender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Ada pandangan dalam masyarakat Jawa dahulu yaitu bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi – tinggi toh akhirnya akan ke dapur juga.
Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, yang bersumber dari penandaan ( stereotip ) umumnya pada perempuan yang dilekatkan pada mereka.
( Sebuah Pemahaman Berakar Dan Sulit Dibelokkan )
Hendrawan Prasetyo
Hal penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks ( jenis kelamin ) dan konsep jender. Pemahaman terhadap konsep tersebut diperlukan dalam memahami persoalan – persoalan ketidakadilan sosial yang seringkali menimpa kaum perempuan. Ada keterkaitan erat antara perbedaan jender (gender differences ) dan ketidakadilan jender ( gender inequalities ) dengan struktur ketidak adilan masyarakat secara lebih luas.
Ada banyak pro dan kontra iika kita mengulas masalah ketidakadilan jender dalam suatu sistem sosial masyarakat. Ada dua alasan berkaitan dengan sikap kontra terhadap masalah analisis jender. Pertama, karena pada dasarnya mempertanyakan status kaum perempuan sama halnya dengan mempersoalkan sistem dan struktur yang telah mapan, bahkan mempertanyakan posisi kaum perempuan pada dasarnya akan menggoncang struktur dan sistem status quo ketidakadilan tertua dalam masyarakat. Kedua, Terjadi banyak kesalahpahaman tentang mengapa masalah kaum perempuan harus dipertanyakan. Mendiskusikan masalah jender pada dasarnya adalah membahas hubungan kekuasaan yang sifatnya sangat pribadi karena menyangkut dan melibatkan individu kita masing – masing serta menggugat privilege yang kita miliki dan sedang kita nikmati saat ini.
Apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan jender ? Banyak ketidak jelasan dan keasalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep jender dan kaitannya dengan usaha emansipasi kaum perempuan. Untuk memahami konsep jender harus dibedakan antara pengertian sex dan gender. Sex lebih mengacu pada pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Manusia jenis laki – laki adalah manusi yang memiliki sifat – sifat sebagai berikut ; laki – laki adalah manusia yang memliki penis, memiliki jakun ( kala menjing ), dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi sperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat – alat terasebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki – laki selamanya. Ini berarti bahwa secara biologis alat – alat tersebut tidak dapat dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia dengan jenis perempuan dan laki – laki. Alat – alat tersebut secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau seringkali dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.
Sedangkan yang dimaksud dengan gender yang lebih mengacu pada suatu sifat yang melekat pada kaum laki – laki maupun perempuan yang dibentuk secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan dikenal sebagai sosok manusia yang lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki – laki dianggap sebagai sosok manusia yang kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat – sifat tersebut merupakan sifat – sifat yang dapat dipertukaran. Artinya bahwa ada laki – laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional dan perkasa.
Sejarah perbedaan jender ( gender differences ) antara manusia jenis laki – laki dan manusia jenis perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan jender dikarenakan oleh banyak hal diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan, maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi jender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seolah – olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan – perbedaan jender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki – laki dan kodrat perempuan.
Perbedaan jender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan jender ( gender inequalities ). Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa terjadinya perbedaan jender telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi kaum laki – laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan jender merupakan suatu sistem dan struktur di mana kaum laki – laki atau perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
Sudah banyak kritik yang dilontarkan oleh kalangan perempuan bahwa sejarah gerakan perempuan kita dipenuhi pandangan dan kepentingan bias jender. Jelaslah konstruksi sejarah yang bias jender tersebut menjadi salah satu sebab yang mengukuhkan ketidakadilan jender.
Bias jender selalu memunculkan diskriminasi atas nama jenis kelamin. Pekerjaan di bidang publik seperti menyelenggarakan pendidikan, melakukan pertempuran di medan perang , dan negosiasi dalam perjuangan merupakan pekerjaan laki – laki yang bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan domestik seperti memasak, merawat orang sakit, mengurus dan mendidik anak dalam kehidupan keluarga yang lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan.
Bukan saja nilai pekerjaan yang dianggap berbeda, pelaku pekerjaan tersebut juga mempunyai nilai berbeda sehingga laki - laki dianggap lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Konstruksi sejarah gerakan perempuan yang tertulis dalam berbagai buku doktrin, termasuk yang diajarkan di sekolah – sekolah menyistematisasi gerakan perempuan sebagai gerakan kaum perempuan yang telah menyumbang perubahan bangsa melalui kegiatan publik yang selama ini lebih banyak dilakukan oleh kaum laki- laki. Misalnya pemberdayaan melalui institusi pendidikan, ikut bertempur melawan kolonialisme, atau aktif melakukan organisasi massa untuk pergerakan kemerdekaan.
Perjuangan perempuan baru dianggap penting jika melakukan kegiatan publik yang selama ini banyak dilakukan laki – laki. Perempuan baru dianggp berjuang melakukan perubahan bernilai historis jika sudah menjadi laki – laki. Itupun masih selalu dinilai dan dipandang lebih rendah dari laki – laki.
Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya konstruksi pandangan bias jender . Pertama, kepentingan pandangan budaya patriarkhi yang melahirkan dualisme peran dan fungsi laki – laki dan perempuan secara segregatif , diskriminatif, mengandung stereotip, dan subordinatif. Pandangan budaya ini bukan hanya melahirkan superioritas dan dominasi laki- laki tetapi juga inferioritas perempuan yang sulit dibangkitkan dalam hubungan sosial kemasyarakatan serta beban berganda pada perempuan.
Sejarah yang bias jender dikonstruksikan untuk mengukuhkan pandangan budaya bias jender tersebut, yang diantaranya dilegitimasi untuk kepentingan menjaga keharmonisan rumah tangga serta penegasan peran pendidikan keluarga. Kedua, kepentingan politik kekuasaan Negara yang bertujuan mendepolitisasi potensi dan kekuatan politik sipil berbasis kaum perempuan. Ketiga, kepentingan politik patriarkhi pada kelompok – kelompok kepentingan seperti partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi keagamaan, yang bertujuan melestarikan kekuasaan laki – laki. Pada organisasi keagamaan hal ini dilegitimasi juga oleh pandangan agama bias jender, baik menyangkut kepemimpinan, peran domestik dan publik, atau seksisme. Keempat, pandangan patriarkhi pada kalangan militer yang lebih sering mengklaim perjuangan kemerdekaan sebagai hasil kerja signifikan para pejuang ( tentara ) laki – laki.
Patriarkhi mengejawantah dalam karakteristik birokrasi. Ciri – cirii birokrasi antara lain pembagian kerja , hierarki yang jelas, prosedur seleksi formal, peraturan yang rinci, serta hubungan yang tidak berdasarkan atas hubungan pribadi. Ciri – ciri tersebut untuk memudahkan kerja sinergi suatu organisasi tetapi dalam kenyataannya ciri itu tidak berlaku adil bagi perempuan. Perlakuan diskriminatif itu mencerminkan tetap dominannya mekanisme maskulin yang menyatu dalam birokrasi.
Pandangan jender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena jender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Ada pandangan dalam masyarakat Jawa dahulu yaitu bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi – tinggi toh akhirnya akan ke dapur juga.
Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, yang bersumber dari penandaan ( stereotip ) umumnya pada perempuan yang dilekatkan pada mereka.
No comments:
Post a Comment