Friday, 16 January 2009

Unsmoked, Sebuah Panggilan Naluri

Rasa pedas belum juga hilang, aku membiarkannya mengalir di sekujur syaraf perasa di ujung lidah. Kuambil sebatang rokok, lalu menyulutnya. Kuhisap dalam, sesekali kupejamkan mata menikmati alun nikotin yang mulai menjalar di sekujur tubuh. Kontemplasi, mungkin lebih dari itu yang aku rasakan, kenikmatan yang tak tersubstitusikan oleh apapun. Itu yang aku rasakan, sebelum aku memutuskan untuk berhenti merokok. Tak ada alasan apapun untuk memutuskan berhenti. Kalau mau berhenti ya berhenti saja, jangan mencoba untuk mengurangi. Dijamin nggak akan berhasil. Karena mengurangi justru akan memancing berbuat lebih. "Mengurangi" justru akan menimbulkan efek luar biasa untuk "menambah". Jadi jika mau berhenti langsung saja di cut!. Nggak usah pakai kompromi. Hari pertama yang akan anda rasakan/lakukan : marah marah, kesal. Hari kedua sampai hari ke lima : disorientasi. Emosi jadi tak terkendali, pandangan jadi tidak fokus. Lawan saja! Memang tidak mudah, tapi kalau berpikir lebih jauh tentang side effect, nasib istri disamping kita yang dengan "tanpa sengaja" ikut menghirup asap yang keluar dari "ilusi maya" kenikmatan yang kita lakukan (baca: merokok) , anak-anak kita yang manis yang kalau kita cium pipi merahnya jadi bau nikotin. Langkah kecil mereka yang masih jauh di depan mata, maka tak ada salahnya kalau mencoba untuk berhenti. Nggak usah ada kompromi, berhenti ya berhenti saja... tanpa harus mencoba untuk mengurangi, atau "menyedikitkan" porsi sigaret yang kita hisap. Pepatah kuno mengatakan jangan mencoba untuk mengurangi kalau berharap lebih.


No comments:

 
© Copyright by .  |  Template by Blogspot tutorial