Monday, 31 March 2008

MEMAKNAI KEBAIKAN, SEBUAH REFLEKSI INTROSPEKSI DIRI

Esensi Dasar Kebaikan

Kebaikan seringkali menanggung kekeliruan makna (wrong meaning) sehingga hanya ada perbedaan tipis antara kebaikan dan keburukan. Berdasar esensinya, kebaikan hanya bisa diterjemahkan jika dikaitkan dengan tindakan nyata (action). Padahal makna kebaikan adalah independent , tidak bisa dihubungkan dengan prasyarat tertentu. Hal yang baik akan tetap menjadi baik dan membawa akibat yang baik pula jika ditransformasikan pada keadaan apapun, pada kondisi di mana transfer sebuah kebaikan akan berakibat pada munculnya kebaikan berikutnya sebagai turunan dari kebaikan pertama. Di sinilah kebaikan menemukan makna sebenarnya, sebagai sintesa dari kebaikan pertama. Makna independent yang tidak memerlukan prasyarat tertentu untuk tetap berada pada esensinya yang utuh.

Manusia berpikir, dari alam pikiran yang sifatnya abstrak ini muncul pendapat yang juga abstrak yang hanya bisa diterjemahkan oleh manusia sendiri sebagai sebuah individu yang tentu saja derajatnya lebih tinggi dari mahluk lain ciptaan Tuhan, karena manusia dikaruniai akal budi. Wujud nyata dari sebuah pendapat adalah tindakan . Tindakan terdefinisikan sebagai sebuah bentuk riil dari penterjemahan sesuatu yang abstrak, sebuah argumentasi dari akal pikiran kita yang tidak bisa ditangkap oleh ketajaman panca indra. Hal ini seringkali mengakibatkan bias (to be driven out of the real meaning), sesuatu memiliki dualisme makna, arti ganda dari eksistensinya yang hakiki.
Kebaikan adalah sesuatu yang abstrak, sulit untuk diterjemahkan. Seringkali kebaikan justru menemukan arti sebaliknya : keburukan, yang mempunyai tendensi pada kejahatan (evil). Argumentasi ontologis mengimplikasikan bahwa sesuatu itu ada karena konsep – konsep tertentu yang berhubungan dengan cara tertentu. Baik dan jahat ( baca: buruk ) dihubungkan sebagai lawan. Jadi kalau ada jahat pasti ada baik ( Maurice Duverger ). Padahal sebenarnya baik dan buruk punya makna bias makna yang tidak terwakili oleh esensinya yang utuh. Kebaikan hanya bisa ditinjau sebagai sesuatu yang diwakili oleh kesepakatan bersama, persamaan persepsi yang dibangun karena dirasa saling menguntungkan. Jika memaknai kebaikan tanpa didukung persamaan persepsi maka kebaikan hanya akan menjadi sebuah kata yang tidak punya arti apapun, meaningless, sebuah kata tanpa makna yang jelas.

Makna sebuah kebaikan teramat relatif. Kalau bangsa/kelompok tertentu tampil sebagai teroris, maka harus ada bangsa lain yang tampil sebagai bangsa nan baik, sebagai lawan dari keburukan (kejahatan). Dalam hal ini ada pemisahan secara tegas antara kebaikan dan keburukan, sebuah pemaknaan yang sangat ironis jika pada kenyataannya timbul kecenderungan berikutnya yaitu bahwa bangsa atau kelompok tertentu yang mewakili kebaikan justru melakukan tindakan-tindakan (sebagai manifestasi argumen dalam bentuk riil) yang secara umum dipandang sebagai sesuatu yang jahat tapi mengatasnamakan kebaikan, serta pembelaan terhadap hak asasi manusia. Tindakan jahat yang muncul sebagai lawan kejahatan pertama dalam konteks tersebut bisa dideskripsikan secara jelas dan gamblang melalui serangkaian tindakan diantaranya: menghilangkan nyawa orang lain/pembunuhan, pembatasan terhadap kemerdekaan orang lain, pengekangan kemerdekaan berpendapat, pemaksaan kehendak, yang merupakan kontra hak asasi manusia, hak kodrati yang sejak lahir manusia sudah memilikinya dan tidak ada seorangpun atau suatu kelompok apapun yang berhak merampasnya bahkan memusnahkannya. Jadi siapakah yang bisa disebut mewakili kebaikan yang maknanya

Pendekatan Teologis

Yang kita perlukan sekarang adalah introspeksi diri. Pendekatan teologis sangat diperlukan untuk memberi makna kebaikan yang hakiki. Batasan baik dan buruk dapat ditegaskan melalui kajian moral, yang lebih condong pada realita bagaimana kita bertindak dengan tanpa meninggalkan batasan religi (religion boundaries). Menghubungkan sekat hubungan antara manusia dengan khaliqnya, dengan tentu saja tanpa mengesampingkan hubungan antara manusia sebagai mahluk yang hidup bermasyarakat , karena pada hakekatnya manusia itu dalam kebersamaan (being in communion). Kebersamaan memberi ciri tertentu pada batasan prilaku baik dan buruk. Hal yang bisa diterima dalam kebersamaan dapat diimplikasikan sebagai sesuatu yang baik, tentu saja dengan tetap berpegang pada batasan sepanjang hal itu menguntungkan (individu maupun kelompok tertentu). Dari situ lahirlah norma, yang berkembang sebagai kontrol terhadap prilaku, perwujudan nyata dari makna kebaikan yang sifatnya abstrak.


Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya memaknai sebuah kebaikan hendaklah tidak dikaitkan dengan dalih apapun, prasyarat tertentu yang justru akan menimbulkan arti bias, bahkan keluar dari batasan makna hakiki sebuah kebaikan itu sendiri yang justru akan memunculkan arti kebalikannya. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal itu menjadi sebuah statement yang sangat penting yang menuntun kita untuk bisa merealisasikan argumen dengan tindakan nyata yang diharapkan mampu menghasilkan sebuah kesejahteraan yang bisa dinikmati bersama, sebuah bentuk kebaikan yang bisa dinikmati oleh seluruh warga negara. Sekali lagi dalam hal ini memaknai kebaikan hendaknya mewakili definisi bahwa sesuatu yang dianggap baik adalah dengan batasan sepanjang hal itu bisa saling menguntungkan. Transfer sebuah kebaikan hendaknya menghasilkan kebaikan baru yang bisa diterima secara umum. Dengan demikian pada akhirnya kebaikan akan menemukan maknanya, makna independent yang tidak memerlukan prasyarat tertentu untuk tetap berada pada esensinya yang utuh.


Di era global seperti sekarang ini yang patut kita renungkan adalah , apakah kita sudah bisa memaknai kebaikan sebagai sesuatu yang independent, sesuatu yang muncul tanpa menimbulkan tendensi kebalikannya? Apakah sesuatu yang kita lakukan yang kita anggap baik sudah bisa mewakili makna kebaikan yang hakiki, kebaikan sebenarnya yang memunculkan kebaikan baru sebagai makna yang universal? Jawabannya ada pada diri kita sendiri, kejujuran, pemaknaan segala sesuatu dengan pikiran dan hati yang jernih, yang bisa menunjukkan bahwa sebagai manusia derajat kita memang lebih sempurna daripada mahluk lain ciptaan Tuhan. Jika kita mau introspeksi dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan kita sebagai manusia, maka mungkin kita tak akan pernah lagi mendengar dan menyaksikan begitu maraknya berbagai macam tindakan kekerasan (violence) di negeri ini. Tiada lagi pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang merupakan hak dasar yang kita miliki sejak lahir, sesuatu yang given yang tetap ada dalam esensinya yang utuh.download

No comments:

 
© Copyright by .  |  Template by Blogspot tutorial